Hai warga milenial! Bagaimana kabarnya? Saya harap sehat selalu ya! Jaga kesehatan, karena sekarang daya tahan tubuh yang tinggi sangat perlu di jaga. Di sini saya akan kembali menyuguhkan sebuah bacaan yang saya harap dapat bersifat informatif ya! Simak!
Semenjak bulan maret lalu, Indonesia sudah memasuki zona waspada covid-19. Dan semenjak itulah berbagai daerah mulai membuat berbagai aturan dan berbagai strategi untuk meminimalisir bahkan untuk memusnahkan pandemi covid-19 ini. Salah satunya dengan menutup sementara tempat ibadah, anjuran berdiam diri di rumah dan fisical distancing.
Nah, warga milenial. Desa kita ini memiliki sebuah budaya istimewa, yaitu BUDAYA PATUNGAN. Yang dimana, budaya patungan ini pertama kali nampak dan sering di ucapkan semenjak persiapan HARLAH desa Pematung yang ke-9. Dengan makna dari budaya patungan ini sendiri adalah gotong royong, saling membantu dan sebuah kerjasama. Lalu, bagaimana kita bisa mewujudkannya di tengah pandemi saat ini? Bukankah kita di anjurkan oleh pemerintah untuk tidak melakukan kontak fisik dan berkumpul? Kan harus jaga jarak? Gimana dong?
Nah! Atas dasar hal itulah, Budaya PATUNGAN ini dapat terus di lestarikan. Kita bisa bahu membahu untuk terus bekerjasa meminimalisir penyebaran covid-19. Kita harus bekerjasaam untuk taat terhadap anjuran pemerintah untuk tidak melakukan kontak fisik dan berkumpul tanpa manfaat yang jelas.
Bahkan budaya PATUNGAN di tengah pandemi seperti sekarang ini juga sudah di tunjukkan oleh muda-mudi Dusun Pematung. Seperti yang kita ketahui, budaya patungan adalah sebuah budaya yang menjunjung tinggi kerjasama. Dan muda-mudi kita sudah bekerjsama dalam menciptakan suasana kemeriahan ramadhan dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dengan cara bergotong royong untuk memasang lampu hias di sekitar jalan dan gang di Dusun Pematung.
Saya mengambil contoh yaitu di dusun sebelah utara Masjid. Kita bisa melihat kerlap-kerlip lampu hias di sepanjang gang di sana. Sebagaimana yang di jelaskan salah satu pemuda kalau biaya pemasangan lamu hias tersebut di dapat dengan melakukan iuran sesama pemuda (remaja) untuk menutupi kekurangan dari dana yang di berikan oleh pihak desa.
“Uang pembelian keperluan kami dapat dari desa, dan tentu saja itu tidak cukup. Maka, kami melakukan iuran dengan mengeluarkan masing-masing 10.000.” ungkap Azmi, salah satu remaja yang berkontribusi dalam pemasangan lampu hias di dusunnya.
Dan dapat kita lihat pula budaya PATUNGAN ini melalui kekompakan para Pemuda Bintar Timur dalam menghiasi jalan dengan menggunakan lampu hias dan membangun gapura. Tentu saja, semua itu di lakukan dengan kerjasama, dan kerjasama merupakan salah satu wujud dari budaya PATUNGAN.
Nah, sederhana sekali bukan? Budaya patungan bisa kita lestarikan tanpa harus melakukan sesuatu dalam cakupan besar saja, tetapi melestarikannya dalam kehidupan bertetangga. Budaya patungan bisa berupa tenaga maupun harta. Serta budaya Patungan juga bisa di laksanakan dalam bentuk berdiam diri di rumah, mengingat suasana pandemi saat ini. So, stay save everybody!
Penulis : @Ceyes_
Pendi Rosadi
21 Juni 2025 00:16:16
Cerita sejarah pematung, apakah masih ada? Lanjutannya?...